Jumat, 10 Juni 2011

Hakim Nursiah Sianipar Wajib Dinon Palukan

Hakim NS Wajib Dinon Palukan*
*Reporter : Juendi Leksa Utama, SH



                foto : HAKIM NURSIAH SIANIPAR, SH       
Terbongkarnya pengakuan, bahwa Irmawati, ibu terpidana Hengki telah memberikan uang suap sebesar Rp 3,8 juta kepada salah seorang Hakim di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang Nursiah Sianipar, SH beberapa hari yang lalu. Hal ini, mengindikasikan bahwa mafia peradilan di Lampung masih cukup besar.

Perihal banyaknya laporan pelanggaran hakim di Lampung yang masuk ke Komisi Yudisial, juga pernah ditegaskan oleh Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Suparman Marzukibahwa Lampung juga masuk kategori zona merah dalam hal pengawasan hakim. Hal itu, diungkapkannya saat seminar nasional yang diadakan BEM Fakultas Hukum Unila, beberapa waktu yang lalu.

Tidak mengherankan, bila ada testimoni dari masyarakat tentang perilaku buruk hakim tersebut. Berdasarkan survey monitoring peradilan yang dilakukan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) wilayah Lampung, bahwa banyak keluarga berperkara  sering menemui hakim guna menyelesaikan perkara “Kekeluargaan/suap”, apakah inisiatif terdakwa atau hakimnya sendiri. Padahal, didepan pintu hakim bertuliskan yang berperkara dilarang masuk. Namun, diterimanya uang suap yang diterima Hakim NS diruang kerjanya, mempertegas bahwa tulisan tersebut tidak berlaku baginya, meskipun terlebih dulu harus dibuktikan.

Ketua Tim Monitoring Peradilan PBHI wilayah Lampung Everton Jeffry Hutabarat, SH menyatakan, Hakim pengawas Pengadilan Tinggi harus mengambil alih masalah ini, dan langsung melakukan investigasi untuk membersihkan nama peradilan dari oknum hakim yang menambah kepercayaan masyarakat semakin terpuruk.

Selain itu, Hakim NS juga harus dinon palukan untuk sementara waktu hingga pemeriksaan terkait pengakuan Irmawati terhadap hakim  NS dapat selesai dan tidak menimbulkan pemikiran negative masyarakat terhadap lembaga peradilan. “Hal ini wajib dilakukan, agar Hakim NS bisa berkonsentrasi untuk membersihkan namanya dari masalah ini,” tutur Everton, Jumat (10/6).

Dikatakannya, ini adalah kenyataan suram yang terjadi pada lembaga penegak hukum di Indonesia, bila beberapa waktu lalu, terdengar berita hakim inisial Syarifuddin yang di tangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana Hakim S tertangkap tangan sesaat setelah menerima uang suap sebesar Rp250 juta dari Pugus Wirawan, kurator PT Skycamping Indonesia.

Menurutnya, perilaku hakim yang buruk seperti itu tidak boleh terulang kembali di badan peradilan Indonesia. “Ini adalah momen bagi Hakim Pengawas, KY, KPK, Kejaksaan untukuntuk membersihkan tikus-tikus mafia peradilan agar hengkang dari pengrusakan sistem hukum,” ujarnya.  

Indikasi Korupsi
Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum Negara ini merdeka. Namun, sampai dengan saat ini pemahaman masyarakat terhadap korupsi masih sangat kurang. Lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu yang mudah. Berdasarkan Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama ini  dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Seperti pemberian gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara Negara dan behubungan dengan jabatannya.


Bila melihat kasus yang ada (hakim berinisial S dan Hakim NS), juga patut diduga telah melakukan tindak pidana korupsi, hal ini dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001, yakni bila memenuhi unsur-unsur (1).Pegawai negeri atau penyelenggara negara, (2).Menerima Pemberian atau Janji. Dan unsur-unsur yang ada bila melihat dalam Pasal 12 huruf a UU No. 20 Tahun 2001 yang berasal dari Pasal 419 angka 1 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999, adalah (1).Pegawai negeri atau penyelenggara negara, (2).Menerima hadiah atau janji, (3).Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.